Cerita Mudik : Menyongsong Jakarta
12:30 PMMigrasi setahun sekali a.k.a Mudik! Hampir sebagian orang Indonesia melakukannya apalagi menjelang masa lebaran. Sebelumnya saya sudah bercerita mengenai perjalanan menuju kota kelahiran. Kali ini giliran cerita kembali ke Jakarta, menyongsong masa depan menuju realita hidup.
Setelah satu minggu lebih menikmati damainya kota Solo, saya sebenarnya tidak 100% siap kembali ke Jakarta. Tapi Jakarta adalah fakta-realita-kenyataan yang harus dihadapi. Tak hanya saya saja ternyata yang enggan kembali ke Jakarta, apalagi ketika mengingat akan disambut dengan macetnya kota besar.
Tiket kereta api sudah di tangan, meski harganya cukup mahal namun tetap lebih murah. Persiapan mudik dan balik sama saja macet bagian packing. Dua kali ikutan mudik ternyata tak membuat saya langsung ahli dalam hal pengepakan barang-barang. Barang yang tergolong cukup sedikit dibanding tahun lalu ini masih terasa berat dan susah muat dalam tas ransel. Tapi saya berhasil membuat kapasitas penuh jadi normal, mendesak masuk dan memadatkannya. Meski masih ada dua crentelan oleh-oleh. Misi bepergian dengan barang sedikit memang sudah terlaksana!
Jadwal keberangkatan kereta api kali ini cukup aneh menurut keluarga saya. Karena baru pukul 22.20 baru berangkat dari stasiun Balapan Solo. Setelah meramu dan merayu dengan kata-kata pada akhirnya sampai juga di stasiun tujuan. Selama perjalanan saya cuma berdoa agar ban motor tidak pecah karena beban saya dan tas ransel sangat berat.
Setiba di stasiun Balapan Solo, saya melakukan hal bodoh. Entah karena tidak konsentrasi atau karena panik, selepas turun dari motor yang mengantar langsung melenggang masuk kawasan stasiun. Baru beberapa langkah di halaman parkirnya, saya merasakan kejanggalan yang baru sekian puluh detik disadari. Terasa kepala saya hangat di udara dingin kota Solo malam itu. Ternyata saya masih memakai helm, dan yang mengantarkan tadi sudah pergi entah ke mana.
Tas ransel, dua kassa bag dan helm, bukan merupakan perpaduan cantik untuk pemudik. Ketika bertemu dengan teman saya, dia jelas langsung melihat kejanggalannya. Dipikirnya saya sengaja ingin mengoleksi helm di Jakarta. Sebenarnya panik juga sih jika membawa helm butut satu ini, akhirnya menelepun kembali untuk menjemput sang helm putih unyu yang tak mau melepas saya dengan mulus.
Intinya, helm kembali ke rumah setelah menanti jemputan 15menit. Dan saya masuk ke dalam gerbong dengan sukses meski agak begetar karena tasnya berat. Perjalanan kali ini akan terasa berbeda karena saya tidak bersama masker kesayangan yang hilang entah di mana. Cuma menggunakan syal sebagai kamuflase ileran selama tidur.
Sedikit tips, jangan pilih tempat duduk nomer 1 di kelas bisnis atau eksekutif. Kalau kelas bisnis, Anda akan berhadapan dengan penumpang baris ke dua. Sedangkan kelas eksekutif yang saya gunakan, tidak ada pijakan kaki di depannya. Untuk saya yang tidak punya kaki jenjang, tiada pijakan itu menyiksa, tidak bisa selonjoran. Oh ya, kelas eksekutif, Anda harus memanfaatkan fasilitas selimut, karena bisa jadi ACnya tidak bersahabat.
Perjalanan menuju Jakarta tidak dengan kecepatan lambat, saya terlelap dan entah bagaimana posisi tidur saya tidak sopan. Melorot ke bawah dengan kaki berkaos kaki menjejak ke dinding depan. Waktu saya bangun masih sempat mainin kaki dan baru sadar jika ada yang memperhatikan. Malu? Tentu saja saya malu. Mungkin dia berfikir "mbak depan gak ada kerjaan atau mau pamer kaos kaki bututnya?"
Rasa lapar ternyata tidak bisa dibohongi, karena saya terbangun dari tidur lelap jam 2pagi. Disebabkan oleh teriakan pedagang Nasi Uduk di salah salah satu stasiun pemberhentian. Meski ia berteriak dari luar, suaranya sampai di dalam.
Sesampai di Jakarta paginya, semua orang sudah bangun. Ini kejadian lucu kalau diceritakan langsung tapi tidak tahu jika ditulis. Saya sempat mendengar sebuah suara ayam jago yang pasang kuda-kuda untuk berkokok. Ketika saya menoleh ke arah suara, mendapati seorang bapak sedang tertawa. Yang terpikir "oh bapak itu kalo ketawa suaranya khu khu khu khuuu ya". Sekitar tiga kali suara itu muncul dan masih berpikir itu suara si bapak. Belakangan saya diberitahu rekan seperjalanan saya jika itu suara ayam yang ada dalam kardus di bawah kaki si bapak ketika tiba-tiba terdengar suara kokok.
Semoga bapaknya tidak membaca ya.
Bawaan mudik berat menuju kos merupakan perjuangan sendiri. Karena ternyata tidak ada yang kasian di trans jakarta, tak ada yang memberi tempat. Jadilah saya harus bertahan berdiri dengan berpegangan. Padahal beban bawaan saya itu sangat berat. Ya jika saya nubruk-nubruk samping, belakang atau depan harap dimaklumi saja. Ketika dapat tempat duduk pun saya memutuskan untuk memberikannya kepada tas ransel dan separuhnya buat sipantat (posisi masih dipakai si ranselnya). Merasa aman karena goyangan bus tak akan membuat saya bergoyang juga, beban tas membuat stabil.
Intinya sih perjalanan menyongsong Jakarta cukup repot karena beban tas tak sepadan dengan beban tubuh sendiri.
Sekian dan terimakasih banyak lho sudah membacanya.
0 comments